Beranda | Artikel
Lelucon Bertemakan Agama
Jumat, 14 Oktober 2016

Semua orang menyukai lelucon dan candaan. Bagaimana tidak, sering kali lelucon dan candaan menjadi penghibur kita di kala bosan, selingan untuk menghilangkan stres, dan bahkan menjadi kebutuhan hidup sosial. Tentu saja interaksi antar manusia akan membosankan bila selalu serius dan tidak ada candaan di dalamnya. Oleh karena itu, kita tidak bisa menikmati indahnya interaksi sosial dengan keluarga, sahabat, teman, dan tetangga kita. Di pihak lain, guyonan dan lelucon menjadi suatu acara khusus yang diselenggarakan bahkan menjadi mata pencaharian sebagian orang. Tak ayal banyak kita jumpai acara khusus yang berisi full komedi di stasiun televisi nasional dan radio hingga menyentuh tingkat RT dan RW.

Semua bidang dan sisi kehidupan dijadikan ajang kreativitas untuk tema komedi supaya acara semakin menarik. Bidang agama pun tak luput dari lintas pikiran termasuk di dalamnya Syariat Islam untuk dijadikan sebagai bahan candaan dan lelucon untuk menggelitik para pendengarnya. Sebagian orang semangat menjadikan agama sebagai bahan candaan dan lelucon, yang pada hakikatnya ia sedang mengolok-olok agama Islam. Mirisnya, para lawan bicara dan pendengar lelucon ini merespon dengan tawa dan rasa gembira. Seakan mereka melakukan itu semua tanpa beban ataupun rasa bersalah. Hal ini telah banyak dikritik oleh para ulama, ustadz, dan cendekiawan. Akan tetapi, banyak dari mereka yang berdalih bahwa ini semua hanya sekedar karya seni atau omongan ringan biasa yang akan segera dilupakan. Benarkah demikian? Bisakah alasan demikian diterima dan dimaklumi secara syariat?

Joke bertema agama semasa hidup Nabi

Sebenarnya permasalahan lelucon dengan tema agama pernah terjadi di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Muhammad bin Ka’ab, dan Zaid bin Aslam radhiyallahu ‘anhum dalam hadits yang panjang dan menjadi sebab turunnya beberapa ayat dalam surat At Taubah. Kisahnya, tatkala kaum muslimin sedang dalam perang Tabuk, ada seseorang yang berkata kepada teman-temannya, “Kami tidak pernah melihat orang yang lebih buncit perutnya, lebih dusta perkataannya, dan lebih pengecut ketika bertemu dengan musuh, ketimbang para qari’ ahli baca Al Qur’an ini (maksudnya adalah Rasulullah dan para shahabatnya).” Mendengar hal tersebut, Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Engkau yang dusta. Kamu ini sebenarnya adalah munafik. Aku akan laporkan ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.

Pergilah Auf bin Malik menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaporkan hal ini dan ternyata ia jumpai ayat Al Qur’an telah turun mendahului beliau membahas peristiwa tersebut. Maka, datanglah orang yang membuat lelucon dan olok-olok tadi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia jumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah naik ke atas untanya dan bersiap untuk pergi. Orang ini pun akhirnya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami cuma sekedar bersenda gurau dan ngobrol untuk menghilangkan kebosanan dalam perjalanan sebagaimana yang biasa dilakukan orang yang dalam perjalanan.” Kata Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Saat itu aku melihat ia berpegangan pada tali pelana unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan kakinya tersandung-sandung batu seraya berkata, “Kami tadi hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata membacakan ayat 65-66 dalam surat At Taubah (yang artinya), “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” Rasulullah tidak menoleh kepada orang tersebut saat membacakan ayat dan tidak berkata lebih dari itu. Kisah di atas diriwayatkan oleh Imam Ath Thabari dan Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya dari jalur Hisyam bin Sa’ad dari Zaid bin Aslam dari Ibnu Umar. (Lihat Al Qoulul Mufid ‘alaa Kitabit Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin)

Pelajaran penting dari kisah di atas

Pelajaran pertama dari kisah di atas adalah bergurau yang mengolok-olok Allah dan Rasul-Nya, termasuk seluruh syariat Islam, dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Pelakunya dianggap telah murtad karena sebelumnya dia adalah orang beriman, kemudian dengan sebab perkataannya yang mempermainkan Islam, ia keluar dari agama Islam. Hal ini mengingat firman Allah Ta’ala (yang artinya),Sunnguh kamu telah kafir sesudah dahulu beriman.” (QS. At Taubah : 66).

Pelajaran kedua, memperolok dan mempermainkan agama termasuk pembatal keislaman. Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh memperolok atau membuat lelucon tentang agama Islam, baik ia serius melakukannya maupun hanya sekedar main-main. Allah dan Rasul-Nya beserta seluruh Syariat Islam bukan tempat untuk main-main dan senda gurau.

Pelajaran ketiga, bagi orang yang mendengar atau menyaksikan hal semacam ini, wajib untuk mengingkarinya, karena hal ini termasuk kemungkaran yang paling besar. Sebagaimana Auf bin Malik mengingkari hal tersebut dalam kisah di atas dan perbuatan beliau disetujui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila dia tidak mengingkarinya padahal hal ini termasuk kemungkaran yang tergolong pembatal Islam bahkan ia rela dan senang dengan hal tersebut maka dikhawatirkan ia tergolong sama saja dengan pelaku kemungkaran tersebut.

Pelajaran keempat, selain mengingkari, dianjurkan juga untuk melaporkan perkataan keji dan kemungkaran ini kepada penguasa atau pihak yang berwenang seperti polisi atau Komnas HAM agar perbuatan ini ditindaklanjuti secara tegas, karena permasalahan ini sangat serius dan tergolong melecehkan agama Islam kita yang mulia. Selayaknya sesuatu yang mulia dan dicintai itu kita agungkan, tetapi ini malah ada yang menghina dan melecehkannya. Sebagai seorang muslim sejati tentu tidak bisa membiarkan hal tersebut. Oleh karena itu, Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu melaporkan perbuatan keji ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selaku pemimpin tertinggi. (Lihat I’aanatul Mustafid bi Syarh Kitabit Tauhid karya Syaikh Dr. Shalih Al Fauzan)

Bisakah bertaubat dari dosa mempermainkan agama?

Kita sudah sama-sama tahu tentang besarnya dosa mempermainkan agama bahkan termasuk pembatal Islam. Lantas, bisakah pelakunya bertaubat dan diterima taubatnya? Dalam permasalahan ini ada 2 pendapat ulama. Pendapat pertama mengatakan bahwa taubatnya tidak diterima. Pelakunya teranggap sebagai orang kafir dan dihukum dengan hukuman mati, tidak disholatkan, tidak didoakan kebaikan, dan dikuburkan jauh dari perkuburan kaum muslimin. Alasannya karena pelaku dosa ini melakukan sesuatu yang membatalkan keislamannya, sehingga taubatnya sudah tidak bermanfaat lagi.

Pendapat kedua mengatakan bahwa taubatnya diterima, dengan syarat benar-benar bertaubat kepada Allah, mengakui dirinya salah, dan mengagungkan Allah dan Rasul-Nya serta syariat agama Islam ini. Alasannya karena hal ini termasuk dalam keumuman firman Allah (yang artinya), Katakanlah (Muhammad) : “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh Dialah yang maha pengampun dan maha penyayang.” (QS. Az Zumar : 53). Diantara orang-orang kafir juga ada yang mencaci maki Allah dan Rasul-Nya, meskipun demikian taubatnya tetap diterima. Pendapat inilah yang insya Allah lebih kuat.

Bercandalah dengan Baik

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan terbaik kita. Beliau telah memberikan contoh dan tuntunan dalam seluruh aspek kehidupan kita, termasuk dalam bercanda dan senda gurau. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tak luput memberikan arahan untuk kita amalkan. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku juga bercanda, namun aku tetap berkata yang benar.” (HR. Thabrani dalam Al Kabir). Dalam hadits yang lain Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “…Aku menjamin sebuah istana di tengah surga bagi siapa saja yang mau meninggalkan dusta meskipun dalam candaan” (HR. Abu Dawud).

Itulah hadiah yang dijanjikan oleh Nabi kita bagi orang yang mau meninggalkan kedustaan meskipun dalam hal yang remeh seperti candaan. Di lain sisi, banyak orang yang melalaikan hal ini dan menganggapnya sepele, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencelanya dan mendoakan kejelekan bagi pelakunya dalam sabda beliau, “Celakalah bagi orang yang berbicara lantas berdusta hanya karena ingin membuat sekelompok orang tertawa. Celakah dia, celakalah dia!” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

Demikian juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita bercanda dengan cara mengambil dan menyembunyikan barang orang lain, karena beliau bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian mengambil barang saudaranya, baik cuma sekedar bercanda maupun serius.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Hal ini karena mengambil dan menyembunyikan barang orang lain bisa menimbulkan kekhawatiran pada dirinya, padahal hal ini dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Meskipun sering kita lihat dalam kehidupan kita sehari-hari hal ini biasa dilakukan oleh teman-teman kita, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat kita cintai melarang itu semua. Dan sebagai pengikut Nabi yang setia tentu kita akan mengikuti tuntunan dan arahan beliau yang itu semua berisi kebaikan untuk kita di dunia dan di akhirat.

Pekanbaru, 07 september 2016

Penulis : dr. Agung Panji Widiyanto (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

Muroja’ah : Ustadz Afifi Abdul Wadud, B.A.


Artikel asli: https://buletin.muslim.or.id/lelucon-bertemakan-agama/